KOMPAS.com - Wacana penghapusan bahasa Inggris dari
kurikulum SD selayaknya patut dipertimbangkan efek untung dan ruginya.
Jangan hanya mengedepankan pertimbangan emosional yang bersifat
reaksioner tanpa menghiraukan manfaatnya yang bisa jadi lebih besar.
Alasan-alasan
yang bersifat ilmiah, rasional, dan terukur sangat perlu sebagai dasar
bagi keputusan yang dibuat sehingga bongkar pasang kurikulum tidak
terjadi tiap kali menteri berganti.
Sesuai dengan Peraturan
Mendiknas No 23/2006, standar kelulusan pembelajaran bahasa Inggris:
siswa SD/MI adalah peserta didik yang harus mampu menunjukkan
keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa
Inggris. Dari sini terlihat bahwa pembelajaran bahasa Inggris menuntut
siswa SD dapat menggunakan empat alat indra sekaligus serta fungsi
kognitifnya.
Pertanyaannya, apakah perkembangan kemampuan
berbahasa anak usia 6-12 tahun ini akan terganggu? Soalnya, pada saat
yang sama mereka juga harus menggunakan otak dan alat indranya untuk
mempelajari bahasa lain: bahasa Indonesia. Lalu apakah bahasa ibu, dalam
hal ini bahasa Indonesia, akan mengalami kekacauan jika pada saat yang
sama mempelajari bahasa asing?
Perkembangan berbahasa
Secara
psikologis, siswa SD yang berusia 7-12 tahun ini berada pada masa
kanak-kanak tengah, middle childhood. Fase ini menjadi masa emas untuk
belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Kondisi otaknya masih
plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah. Menurut
tokoh psikososial Erikson, kemampuan berbahasa anak pada fase ini lebih
berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret.
Area
pada otak yang mengatur kemampuan berbahasa terlihat mengalami
perkembangan paling pesat ketika anak berusia 6-13 tahun, yang biasa
disebut sebagai critical periods. Selain itu, kemampuan dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada
pada kondisi optimal sehingga secara biologis menjadi waktu yang tepat
untuk mempelajari bahasa asing. Hal ini berdasarkan hasil riset
teknologi brain imaging di University of California, Los Angeles.
Penelitian
lain juga menunjukkan hasil yang sama sebagaimana yang dilakukan Kormi
dan Nouri (2008): anak-anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa
memiliki kemampuan lebih dalam tugas memori episodic, mempelajari
kalimat dan kata, dan memori semantic, kelancaran menyampaikan pesan dan mengategorikannya.
Dua
penelitian ini menunjukkan bahwa bilingualisme tidak akan mengganggu
performa linguistik anak dalam bahasa apa pun. Belum ada bukti bahwa
bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari bahasa kedua, ketiga,
dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki fleksibilitas
kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep.
Menurut Hurlock
(1993), anak-anak ini mampu memahami bahasa asing dengan baik seperti
halnya pemahaman terhadap bahasa ibunya dalam empat keterampilan
berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena
itu, anak-anak SD secara biologis berada dalam masa emas untuk
mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa
Indonesia.
Perkembangan otak yang mengatur kemampuan berbahasa
sedang tumbuh dengan pesat. Sensitivitas berbahasa pada anak-anak SD
sangat baik sehingga jika alasan menghapus bahasa Inggris dari kurikulum
SD karena faktor kemampuan, jelas itu kurang memiliki dasar ilmiah yang
kuat.
Tanggung jawab sosial
Pembelajaran
bahasa Inggris menjadi problem jika anak-anak SD lebih cenderung pada
bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Mereka lebih termotivasi
belajar bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia sehingga penguasaan
bahasa Indonesia lebih jelek daripada bahasa Inggrisnya. Apabila
siswa-siswa SD lebih senang belajar bahasa Inggris, berarti problemnya
berada pada sisi perhatian dan minat. Selanjutnya perlu dicari kenapa
perhatian dan minat siswa rendah terhadap bahasa Indonesia?
Penyelesaiannya
bukan dengan menghilangkan bahasa yang lebih menarik minat, melainkan
perbaiki dan bikin menarik pelajaran bahasa yang kurang mendapat
perhatian dan minat itu. Sebab, penguasaan bahasa Indonesia merupakan
tanggung jawab sosial anak sebagai bahasa nasional. Di sisi lain, bahasa
Inggris juga penting sebagai bekal generasi kita dalam menghadapi era
globalisasi.
Salah satu cara supaya siswa lebih cenderung
mempelajari bahasa Indonesia adalah pembenahan komprehensif, baik isi
maupun metode pembelajarannya. Metode yang dipakai harus variatif dan
kreatif sebagaimana dalam pengajaran bahasa Inggris. Bandingkanlah
metode yang biasa dipakai dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan
Inggris. Tentu kita akan mengatakan bahwa bahasa Inggris lebih variatif
dan kreatif dalam metode ataupun alat belajarnya. Guru-guru yang
mendampingi juga merasa senang dengan banyaknya pilihan metode
pembelajaran. Akhirnya, anak-anak SD lebih senang dan menikmati.
Jadi
sekali lagi, menurut saya, problemnya bukan pada mampu tidaknya siswa
SD mempelajari dua bahasa dalam satu waktu, melainkan lebih pada
kecenderungan penguasaan terhadap bahasa. Problem psikologis ini yang
agaknya jadi kendala bagi siswa SD mempelajari dua bahasa dalam kurun
waktu yang sama. Sebab, sampai sejauh ini, belum ada bukti ilmiah yang
menguatkan bahwa mempelajari bahasa lebih dari satu dalam satu waktu
akan mengacaukan sistem kebahasaan yang lain dalam kognisi anak.
Semoga
pendapat yang sedikit ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah
dalam mengevaluasi kurikulum bagi anak-anak SD, khususnya mengenai
pelajaran bahasa Inggris. Keputusan yang terburu-buru dan reaksioner
sama dengan tindakan menggadaikan masa depan generasi bangsa.
Ainna Amalia FN, Dosen Psikologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya
sumber
Secret Of language II
12.13 |
Label:
e-XPERT News
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar